Saya baru membaca sebuah postingan dari Atiek yang berjudul THR.
Saya jadi ingin berbagi cerita tentang pembagian zakat di kampung saya.
Setiap tahun keluarga ibu saya yang memang semuanya pedagang selalu berbagi zakat perdagangan setiap malam beberapa hari sebelum lebaran.
Karena sudah sering, metode pembagian zakatnya pun sudah mengalami peningkatan mulai dari yang buka pintu, lalu bagi2 sembarangan sampai akhirnya pemberlakuan kupon dan pembentukan jaringan distribusi kupon zakat pun mulai diberlakukan. Wow keren juga yah kampung saya.. Yah semuanya ditujukan agar penyebaran zakat bisa merata.. Jadi tidak ada yang dobel mendapatkan zakatnya.. Kasihan kan buat janda2 tua kalo harus berebutan.. Dengan adanya kupon, maka orang2 yang lemah secara fisik tetap terjamin haknya.. tetap kebagian zakat juga..
Sebelumnya saya hanya berperan sebagai penonton acara pembagian zakat itu.. terkadang juga ditugaskan untuk membantu. Namun terhitung sejak tahun 2005, karena orang tua saya beralih profesi menjadi pedagang alhasil keluarga kami juga menjalani rutinitas semacam itu..
Ternyata memang dihari2 menjelang lebaran, zakat menjadi salah satu harapan bagi sebagian orang untuk mendapatkan baju baru. terutama untuk anak2 mereka.. Yaaah memang cuma 1 hari itu anak2 mereka punya harapan dapet baju baru, tetapi yang menarik adalah tradisi meminta bukanlah sesuatu hal memalukan bagi bangsa ini. Hampir setiap hari toko saya didatangi ibu2 untuk meminta zakat tahunan kami, terutama hari2 mendekati lebaran. Jawaban kupon zakat sudah habis membuat mereka memasang muka penuh penderitaan. Tak urung sang bunda pun tak tega dan akhirnya manambahkan jatah zakat untuk ibu2 itu. Pemberlakuan kupon pun tak berhasil membuat para penadah zakat itu tertib. Aksi dorong2an tetap saja terjadi. Padahal mereka sudah terjamin tidak kehabisan zakat karena mereka memegang kupon. Cerita lucu pun tak urung terjadi. Pakde saya membagikan zakat dengan cara membagi2kan sepatu/sandal untuk para wanita. Ada seorang nenek tua datang ke toko saya. Beliau bilang habis mengambil zakat ditempat pakde saya sambil menunjukkan sepasang sandal hak tinggi bermerk Rindi. Beliau datang dengan keadaan senang campur bingung. Mau diapakan sendal ini? Sontak seluruh orang yang ada di toko saya tertawa. Mungkin pikiran kami sama. Membayangkan ketika sang nenek menggunakan sanadal itu. haha. jahatnya saya. Ada yang berniat membeli sendal itu tampaknya. Syukurlah zakat itu akhirnya berguna bagi sang nenek. Setidaknya saya tidak kuatir si nenek suatu hari akan jatuh karena memakai sendal itu.
Lebaran memang menjadi hari besar bangsa ini, 1 hari dalam setahun yang penuh dengan persiapan.. Lebaran memiliki arti yang berbeda bagi sebagian orang. Orang yang bijak mengartikannya sebagai hari untuk introspeksi diri, sebagai hari kemenangan penuh pemaafan dan dimaafkan. Hari bersilaturahmi. Tetapi disisi lain lebaran adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan uang angpau, pulang kampung, terbebas dari tugas kuliah, makan opor ayam, berekreasi bersama keluarga. Sisi lainnya lagi adalah momen besar untuk meraih keuntungan berlipat ganda, menaikan harga-harga sudah merupakan hal yang pasti untuk para pedagang, tak terkecuali keluarga pedagang macam ibu saya. Dan yang menjadi sebuah momok adalah lebaran adalah kesempatan untuk mempunyai baju baru. Inilah yang menjadi sebuah kesalah pahaman di negeri ini. Ditambah sifat kental konsumerisme bangsa kita. Saya pernah berbicara tentang hal ini dengan seorang teman mengenai sifat sering gonta-ganti handphone seorang teman, mengenai pusat berbelanjaan yang menjamur, rating sebagai pasar mobil mewah terbesar, dan negara asal turis pembelanja termahal di Singapura sebagai hal yang kontradiktif dengan keadaan ekonomi bangsa ini di media-media.
Balik lagi soal baju baru, adalah hal yang sangat mengerikan jika hal ini berdampak pada pingsannya ibu2 tua, patahnya kaki karena terinjak2 bahkan hingga merenggut nyawa seseorang. Tapi jika dilihat dari sisi lain, bukankah itu merupakan satu2nya hari kebahagiaan bagi mereka? kapan lagi mereka memiliki baju baru?? Hei orang2 yang suka berganti2 handphone, yang suka berbelanja di luar negeri, yang suka berganti2 mobil mewah dan yang selalu membeli baju lebaran mewah, adakah kalian memikirkan nasib kami??
Hai orang-orang pintar, pengusaha sukses yang bisa meraup keuntungan bermilyar-milyar tiap tahunnya. Bisakah kalian memberikan sedikit saja waktu dan kepintaran kalian untuk kami golongan papa, yang miskin, yang bodoh karena tidak sekolah, untuk sebentar saja memikirkan cara agar kami bisa berkesempatan mendapatkan hak kami. Agar kami tidak perlu berdesak-desakkan mengambil hak kami?
Hai departemen agama, kemanakah amanah uang yang kalian dapat untuk kami?
Saya rasa 2.5% dari tiap-tiap orang yang sudah memenuhi ketentuan zakat dinegeri ini jika dikumpulkan pasti cukup untuk mengubah hidup mereka, setidaknya pola pikiran mereka. Zakat bukanlah hanya sekedar uang yang bisa digunakan untuk membeli makan atau baju saja. Zakat juga bisa digunakan sebagai modal.
Saya tertarik dengan konsep Baitul Mal yang diutarakan ayah. Baitul mal adalah semacam bank amal untuk menampung zakat mal dari tiap-tiap orang. nantinya bank ini yang akan memikirkan cara untuk mempergunakan uang itu. Termasuk usaha apa yang dapat ditempuh oleh orang-orang miskin itu. tentu saja konsep tersebut tak lepas dari peranan orang-orang pintar yang mempunyai kemampuan membuka peluang usaha, yang mau memberikan saran tentang usaha terbaik dan langkah-langkahnya. Orang-orang miskin itukan bukan hanya tidak mempunyai modal, tetapi mereka juga tidak sekolah, jarang sekali yang tau usaha apa yang berpeluang besar sekarang ini, apalasi tahapan yang harus dilakukan. Bagaimana bisa maju..
Saya rasa sekarang bukan saatnya lagi memanjakan mereka dengan zakat dengan metode pembodohan macam itu. Saya rasa sekarang adalah saatnya aksi sosial dengan intelegensi tinggi. Mungkin bisa saya sebut dengan Berzakat Pintar. Bukan hanya materi angka-angka dalam kertas peruri yang diberikan tetapi juga sedikit ilmu dan peluang usaha bagi mereka. Tentunya hal ini dapat menjadi suatu langkah mengubah pola pikir mereka. Mereka menjadi terdorong untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka terima dan bisa menghasilkan uang sendiri. Propaganda "malu untuk tidak berusaha" mungkin bisa disumbangkan oleh kalangan media. Sekali-kali amal untuk memberitakan propaganda sosial boleh dong.. jangan hanya gosip artis saja yang digembargemborkan.
Untuk usahanya, mungkin busines plan dari peserta salah satu lomba bisnis bisa diaplikasikan. Tinnggal siapa orang yang berkemampuan yang mau membimbing mereka?? dan tentunya penggalangan dana 2.5% itu..
Bukankah itu hak mereka???
Ada yang mau mencoba???